Terapi
Pengobatan dengan Ruqyah dalam Pandangan Islam
Dewasa
ini animo masyarakat sangat tinggi untuk menjaalani terapi ruqyah, pengobatan
yang telah diwariskan Rasulullah untuk ummatnya. Apalagi banyak media –cetak
dan elektronik- menyajikan iklan pengobatan atau terapi ruqyah. Akhirnya mereka
mencari-cari pengobatan ruqyah yang ada di sekitar mereka. Bahkan saya pernah
dapat info dari teman sesama ustadz yang tinggal di daerah Jawa Timur, ia
dipaksa oleh seseorang yang tinggal dekat rumahnya untuk meruqyah saudaranya.
Sehingga ia kebingungan karena meskipun selama ini ia dikenal sebagai seorang ustadz
tapi ia belum pernah meruqyah seseorang sama sekali.
Gayung
pun bersambut. Seiring dengan boomingnya pengobatan ruqyah dan ramainya
masyarakat yang mencarinya, maka bermunculanlah klinik-klinik ruqyah di
mana-mana. Ada klinik ruqyah yang ditangani oleh seseorang yang benar-benar
berkapasitas ilmu syari'at yang mumpuni, sehingga mereka membuka kitab-kitab
hadits dan mencari ilmu tentang ruqyah untuk melayani permintaan jamaah. Tapi
banyak juga klinik ruqyah yang ditangani oleh mereka yang awam agama.
Klinik
jenis kedua ini banyak bermunculan di tengah masyarakat. Ada yang memadukan
ruqyah dengan ilmu tenaga dalam, ada yang menambah praktik ruqyah dengan
praktik perdukunan, ada yang menjadikan ruqyah sebagai kedok saja karena model
terapinya tetap model dukun atau orang pinter, ada yang mencampur terapi ruqyah
dengan praktik mistik, sehingga masyarakat kesulitan untuk membedakan mana
peruqyah dan mana paranormal, mana seorang ustadz dan mana seorang dukun.
Pengalaman
mereka (testimoni)
Apa
yang penulis sampaikan di atas bukanlah mengada-ada. Selama penulis berdakwah,
mengajar dan mengisi taklim di banyak tempat, baik di Ibukota maupun di daerah,
penulis sering dikomplain oleh jamaah. Di antara komplain atau curhat mereka
seputar masalah ummat adalah tentang praktik ruqyah. Ada yang kecewa dengan
klinik atau praktik ruqyah yang pernah didatangi, daan ada juga yang kaget,
"Masa praktik ruqyah seperti itu, persis kayak praktik dukun cabul",
katanya.
Penulispun berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dan menyimak keluhan
mereka. Ibu Minto (48 th) misalnya contohnya, wanita karir yang satu ini
menceritakan pengalamannya saat berobat ke seorang yang dikenal sebagai seorang
habib yang katanya juga berpraktik pengobatan ruqyah. Tapi saat ia berobat,
pulangnya dibekali bambu kuning yang harus ia pasang di rumah, terutama di
libang-lubang angin atau di atas jendela dan pintu. "Kalau begitu apa
bedanga peruqyah dengan paranormal, yang biasanya selalu ngasih jimat ke
pasiennya", katanya menggugat.
Lain
lagi dengan Mbak Imah (25 th), muslimah ini mengadukan bahwa ia pernah diterapi
ruqyah di salah satu klinik ruqyah yang ada di Jakarta. Tapi ia merasa risih
alias tidak nyaman, karena saat melakukan terapi ruqyah, peruqyahnya
meraba-raba punggungnya dari balik bajunya. Sambil berkumat-kamit baca bacaan
yang tak jelas terdengar, ia mengusap-ngusap kulitnya. "Kalau praktik
ruqyah seperti itu, apa bedanya dengan praktik dukun cabul", katanya
protes.
Lalu
penulis katakan dengan nada bercanda, "Ibu protesnya ke mereka dong, yang
melakukan terapi. Kenapa protesnya ke saya, saya kan bukan atasan mereka".
"Bukan begitu ustadz, ustadz kan seorang yang telah memperdalam ilmu
agama. Jadi kami ingin konfirmasi, apa benar yang namanya praktik ruqyah itu
seperti itu. Atau itu merupakan praktik ruqyah yang menyimpang (syirik),"
sanggah mereka.
Ruqyah
ada dua macam
Pembaca
yang tercinta, tidak semua praktik ruqyah itu islami atau sesuai syari'at
Islam. Karena pada kenyataannya ada dua macam praktik ruqyah. Yaitu ruqyah yang
syar'iyah (sesuai dengan syari'at Islam atau Islami), dan ada juga praktik
ruqyah yang syirkiyah (tidak sesuai dengan syari'at Islam, karena ada
penyimpangan norma-norma Islam di dalamnya). Jadi kita kudu waspada. Karena
telah banyak praktik pengobatan atau klinik yang menggunakan ruqyah hanya
sebagai kedok atau kamlufase untuk mengelabuhi masyarakat.
Ada
ruqyah yang syar'iyah, dan banyak ruqyah yang tidak syar'iyah alias syirkiyah
atau menyimpang. Yang mengaku syar'iyah juga ada yang betul-betul syar'iyah,
dan ada juga yang gadungan alias tidak original (ada penyimpangan dalam
praktiknya). Hal-hal seperti ini yang terkadang tidak difahami masyarakat.
Di
zaman Rasulullah saja, praktik ruqyah telah terbagi menjadi dua macam. Yang
syar'iyah dan yang syirkiyah. Sehingga Rasulullah melakukan filterisasi untuk
memilah dan memilih mana ruqyah yang benar-benar syar'iyah. Auf bin Malik
al-Asyja’iy berkata, “Kami pada zaman jahiliyyah melakukan ruqyah, lalu kami
berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang
ruqyah?’ Beliau bersabda, ‘Tunjukkanlah kepadaku ruqyah-ruqyah kalian,
ruqyah-ruqyah itu tidak apa-apa selama di dalamnya tidak bermuatan syirik”.
(HR. Muslim).
Jabir
bin Abdullah berkata, “Pamanku dari kaum Anshar suka meruqyah dari gigitan
ular. Saat Rasulullah melarang ruqyah, maka pamanku mendatanginya seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah melarang ruqyah padahal saya suka
meruqyah dari gigitan ular. Rasulullah berkata, ‘Tunjukkanlah ruqyahmu
kepadaku.’ Abu Hurairah berkata, ‘Maka pamanku pun menunjukkannya kepadanya.’
Rasulullah bersabda, Ini tidak apa-apa, ini termasuk ruqyah yang dibolehkan’.”
(HR. Abu Ya’la).
Apa
kata Ulama'?
Ibnu
Taimiyyah berkata: "Adapun pengobatan orang yang kesurupan dengan ruqyah,
maka bacaan yang dibaca itu ada dua macam. Apabila bacaan ruqyah tersebut
terdiri dari kalimat yang bisa dipahami maknanya dan dibolehkan oleh agama
Islam, maka bacaan seperti itu dibolehkan. Karena telah ditegaskan bahwa
Rasulullah mengizinkan penggunaan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.
(Lihat HR. Muslim no. 2200, red.).
Tapi
bila di dalamnya mengandung kalimat yang diharamkan, seperti ada kesyirikan
atau maknanya tidak bisa dipahami atau mengandung kekufuran, maka tidak seorang
pun diperkenankan untuk memakainya. Walaupun terkadang dengan kalimat tersebut
jin mau keluar dari tubuh orang yang kesurupan. Karena bahaya kekufuran lebih
besar adanya daripada manfaat kesembuhan yang diperoleh." (Majmu'ul
Fatawa: 23/ 277).
Imam
Nawawi juga telah berkata: "Ruqyah dengan ayat-ayat al-Qur'an dan dengan
do'a-do'a yang telah diajarkan Rasulullah adalah suatu hal yang tidak
terlarang. Bahkan itu adalah perbuatan yang disunnahkan. Telah dikabarkan para
ulama' bahwa mereka telah bersepakat (ijma') bahwa ruqyah dibolehkan apabila
bacaannya terdiri dari ayat-ayat al-Qur'an atau do'a-do'a yang diajarkan
Rasulullah." (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi: 14/ 341).
0 comments:
Post a Comment